Judul: Kajian Filologis–Teologis atas Makna “ἐγένετο” (egeneto) dalam Yohanes 1:14 dan Ketidakmungkinan Makna “Berubah” dalam Inkarnasi Logos
Judul: Kajian Filologis–Teologis atas Makna “ἐγένετο” (egeneto) dalam Yohanes 1:14 dan Ketidakmungkinan Makna “Berubah” dalam Inkarnasi Logos
1. Morfologi–Sintaksis Yunani
Verba ἐγένετο adalah aoristus medium dari γίνομαι, bukan dari μεταβάλλω (“berubah”), οἱόω (“bertransformasi”), atau μεταμορφόω (“berubah rupa”). γίνομαι secara morfologis menyatakan “menjadi dalam arti memasuki kondisi baru” tanpa makna perubahan esensi. Sintaksisnya dalam Yoh 1:14 menghubungkan subjek yang tetap sama (ὁ λόγος) dengan keadaan baru yang diambil-Nya (σάρξ). Bentuk medium tidak mengimplikasikan perubahan natur ilahi menjadi natur lain, melainkan tindakan aktif Sang Logos memasuki eksistensi manusiawi.
2. Analisis Semantik (Domain Makna)
Dalam domain makna Yunani Koine, γίνομαι tidak semantis dengan “mengalami perubahan ontologis.” Arti dasarnya adalah “mengambil bagian dalam suatu keadaan”, “mewujud dalam bentuk tertentu”, atau “menjadi hadir dalam cara baru”. Sebaliknya, jika penulis ingin menyatakan perubahan substansi atau transformasi, ia akan memilih verba lain. Pemakaian γίνομαι adalah pilihan teologis untuk menegaskan inkarnasi tanpa menyaratkan perubahan esensi.
3. Leksikon-Kritis (BDAG, LN, TDNT)
BDAG mencatat bahwa γίνομαι memiliki arti “menjadi/menampakkan diri dalam peran baru” tanpa menyentuh esensi. Louw–Nida menempatkannya dalam domain “peralihan eksistensial” sebagai fenomena baru dalam sejarah, bukan transmutasi natur. TDNT menegaskan bahwa pada Kristologi Yohanes, γίνομαι adalah “manifestasi historis”, bukan “mutasi ontologis”. Semua leksikon besar sepakat bahwa ἐγένετο dalam Yoh 1:14 tidak boleh dipahami sebagai perubahan Allah menjadi sesuatu selain Allah.
4. Eksegetika Kontekstual
Konteks Yohanes 1:1–18 menegaskan bahwa Logos tetap berada dalam kategori ilahi (“θεὸς ἦν ὁ λόγος”). Ketika ayat 14 menambahkan “ἐσκήνωσεν ἐν ἡμῖν” (berkemah/berdiam di antara kita), konteksnya menafsirkan “σάρξ ἐγένετο” bukan sebagai perubahan esensi, tetapi “kehadiran Allah mengambil tabernakel manusiawi.” Eskatologis dan naratif dalam prolog menegaskan continuity of identity: Firman tetap Firman, tetapi hadir dalam sejarah sebagai manusia sejati.
5. Teologi Biblika – Inkarnasi
Inkarnasi tidak berarti perubahan hakikat Allah menjadi manusia, melainkan pengambilan natur manusiawi tanpa kehilangan natur ilahi. Dalam formulasi klasik, dua natur (ilahi–manusia) bersatu dalam satu pribadi (hypostasis) tanpa percampuran, perubahan, pembagian, atau pemisahan. Ini sejalan dengan kesaksian PL bahwa Tuhan tidak berubah dalam esensi-Nya (Mal 3:6), dan kesaksian Yesus sendiri bahwa Ia “turun dari surga” tanpa kehilangan keilahian-Nya (Yoh 6:38). Dengan demikian, “menjadi daging” tidak mungkin dipahami sebagai perubahan esensi.
6. Perbandingan Filosofi Penerjemahan FE vs DE
FE (formal equivalence) mempertahankan bentuk literal “menjadi daging”, tetapi tetap memahami makna teologisnya sebagai manifestasi, bukan perubahan. DE (dynamic equivalence) memilih “menjadi manusia” agar pembaca modern tidak salah mengira bahwa “daging” adalah proses metamorfosis. Dalam kedua pendekatan, kata “menjadi” bukan diterjemahkan sebagai “berubah”, tetapi sebagai “mengambil keadaan historis baru.” Terjemahan DE membantu mencegah pembaca modern salah memahami konsep inkarnasi sebagai perubahan esensi.
7. Analisis TB1 vs TB2 sebagai DE
TB1 cenderung lebih literal di beberapa bagian, namun tetap berada dalam jalur interpretasi gerejawi bahwa ἐγένετο menyatakan inkarnasi, bukan perubahan. TB2 memperluas unsur DE agar lebih komunikatif. Karena itu, frasa “menjadi manusia” dalam TB2 mempertahankan makna asli tetapi menghindari ketersesatan pembaca modern yang menafsirkan “daging” sebagai proses biologis. Baik TB1 maupun TB2, sebagai DE, tidak pernah bermaksud mengajar bahwa Allah berubah menjadi makhluk lain atau kehilangan keilahian-Nya.
8. Intertekstualitas PB tentang sarx
Dalam Rm 1:3; Gal 4:4; Ibr 2:14, sarx menunjuk pada “kondisi manusiawi” yang diambil Kristus, bukan perubahan ilahi menjadi materialitas. Ketika PB berbicara tentang “datang dalam daging” (1Yoh 4:2), konteksnya bukan proses ontologis Allah berubah bentuk, melainkan pernyataan historis bahwa Yang Ilahi hadir secara nyata sebagai manusia sejati. Intertekstualitas ini menegaskan konsistensi bahwa sarx adalah “pengambilan kemanusiaan”, bukan “perubahan esensi Allah.”
9. Anti-heresi Yohanes (anti-doketisme)
Doketisme mengajarkan bahwa Yesus hanya tampak seperti manusia. Yohanes menegaskan kebalikannya melalui σάρξ ἐγένετο. Tetapi ia tetap berhati-hati tidak memakai verba yang menandai perubahan esensi. Pemilihan γίνομαι melawan doketisme tanpa jatuh pada kesan “Allah berubah menjadi materi.” Dengan demikian, anti-heresi ini menguatkan bahwa “menjadi daging” adalah manifestasi, bukan transformasi substansial.
10. Filologi sejarah penerjemahan gereja
Sejak Vulgata (“caro factum est”), gereja memahami factum est sebagai “menjadi hadir dalam cara baru”, bukan “berubah substansi.” Terjemahan Peshitta, Coptic, Armenia, Latin Klasik, Syriac, hingga Reformasi (Luther: “fleisch ward”), semuanya menafsirkan γίνομαι sebagai “pengambilan kemanusiaan” bukan “perubahan hakikat.” Tradisi dua milenium ini konsisten: Logos tidak berubah menjadi sesuatu, tetapi menyatakan diri-Nya dalam eksistensi manusia sejati.
Kesimpulannya, “menjadi” dalam Yohanes 1:14, berdasarkan morfologi, semantik, leksikon, eksegesis, teologi, intertekstualitas, sejarah tradisi gereja, serta prinsip inkarnasi ortodoks, tidak pernah berarti “berubah esensi.” Firman tidak berubah menjadi daging; Firman tetap ilahi dan mengambil natur manusiawi agar hadir di dalam sejarah sebagai Yesus Kristus yang sejati Allah dan sejati manusia.

