Pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan dengan konsep teologis Kristen tentang Yesus sebagai Anak Manusia yang memiliki keberadaan sorgawi sebelum inkarnasi-Nya di bumi, dan bukan tentang manusia biasa.
a. "Anak Manusia sebelumnya berada" (Yohanes 6:62). Apakah Anak Manusia itu manusia sebelumnya berada?
Tidak, frasa "Anak Manusia" dalam konteks ini tidak merujuk pada manusia biasa yang sudah ada di surga sebelum kelahirannya. Sebaliknya, ini adalah gelar Mesianik yang digunakan Yesus untuk merujuk pada diri-Nya sendiri, yang menekankan asal usul-Nya dari surga dan identitas ilahi-Nya.
Asal Sorgawi: Ayat-ayat seperti Yohanes 3:13 dan 6:62 secara eksplisit menyatakan bahwa "Anak Manusia" adalah Dia yang telah "turun dari surga" dan akan "naik ke tempat di mana Ia sebelumnya berada". Ini menunjukkan keberadaan pra-inkarnasi sebagai makhluk rohani atau ilahi, bukan manusia fana.
Makna Teologis: Gelar ini menggenapi penglihatan dalam Kitab Daniel (Daniel 7:13) tentang sosok yang menerima kekuasaan dan kemuliaan kekal dari Allah, yang menunjukkan sifat ilahi dan agung, bukan sekadar manusia biasa.
b. "Anak Manusia sebelumnya berada" (Yohanes 6:62). Jika Anak Manusia itu manusia sebelumnya berada, kemudian manusia itu turun dari Sorga (Yohanes 3:13), dapatkah manusia itu masuk ke dalam rahim perempuan?
Secara teologis, mustahil bagi manusia biasa untuk secara harfiah "turun dari surga" dan masuk ke dalam rahim perempuan. Proses kelahiran manusia biasa dijelaskan melalui Adam dan Hawa sebagai leluhur tunggal.
Inkarnasi Ilahi: Peristiwa masuknya "Anak Manusia" ke dalam rahim Maria (inkarnasi) adalah mukjizat unik dan sentral dalam iman Kristen, di mana pribadi ilahi mengambil kodrat manusia, bukan proses biologis biasa bagi manusia fana.
Keunikan Yesus: Konsep ini menegaskan keunikan Yesus Kristus sebagai Allah yang menjadi manusia, sebuah tindakan supranatural yang berada di luar hukum biologis manusia biasa, yang mustahil dilakukan oleh manusia biasa.
Penggunaan gelar "Anak Manusia" dalam Yudaisme kuno memiliki beberapa makna yang berbeda, yang semuanya memengaruhi cara Yesus menggunakan gelar tersebut:
Makna Umum dan Kenabian
Dalam banyak bagian Perjanjian Lama, frasa Ibrani ben adam ("anak manusia") adalah cara puitis atau idiomatik untuk menyebut manusia biasa atau makhluk fana, sering kali untuk menekankan kelemahan manusia dibandingkan dengan keagungan Tuhan.
Nabi Yehezkiel, misalnya, dipanggil "anak manusia" oleh Tuhan lebih dari 90 kali, berfungsi sebagai pengingat akan sifatnya yang manusiawi sebagai perantara antara Tuhan dan Israel.
Makna Apokaliptik dalam Kitab Daniel
Arti yang paling signifikan secara teologis berasal dari Kitab Daniel (sekitar abad ke-2 SM), yang menjadi pusat harapan Mesianik Yahudi.
Dalam Daniel 7:13-14, Daniel melihat penglihatan tentang "satu orang seperti anak manusia" (bar 'ěnoš dalam bahasa Aram) yang datang "dengan awan-awan di langit".
Sosok ini dibawa ke hadapan "Yang Lanjut Usianya" (Tuhan) dan diberikan kekuasaan, kemuliaan, dan kerajaan yang kekal yang akan dilayani oleh semua bangsa.
Dalam konteks ini, "anak manusia" melambangkan sosok surgawi yang agung dan menerima otoritas ilahi, kontras dengan kerajaan-kerajaan duniawi yang digambarkan sebagai binatang-binatang buas.
Harapan Mesianik
Meskipun "Anak Manusia" bukanlah gelar Mesias yang umum dan baku di semua tradisi Yahudi pada abad pertama Masehi, kitab-kitab apokaliptik Yahudi di luar kanon Alkitab, seperti Kitab Henokh (Parabel Henokh), mengembangkan sosok ini menjadi tokoh eskatologis (akhir zaman) yang spesifik: seorang hakim ilahi yang telah dipilih sebelumnya untuk menghakimi orang jahat dan memerintah umat Allah.
Yesus merujuk kembali pada penglihatan Daniel ini ketika Ia menggunakan gelar "Anak Manusia", mengidentifikasi diri-Nya dengan tokoh surgawi yang berkuasa tersebut, yang kedatangan dan penghakiman-Nya akan menjadi tanda akhir zaman
Rasul Paulus adalah salah satu penulis Perjanjian Baru yang paling jelas mengajarkan doktrin pra-eksistensi ilahi Kristus, yang berarti Yesus sudah ada sebagai pribadi ilahi di surga sebelum kelahiran-Nya di bumi.
Paulus mengembangkan pemahaman ini melalui beberapa cara dalam surat-suratnya:
Kristologi Hikmat
Paulus menerapkan konsep Yahudi tentang "Hikmat" (yang dipersonifikasikan sebagai atribut ilahi atau bahkan wujud yang telah ada sebelum penciptaan) kepada Yesus. Hal ini menempatkan Kristus sebagai agen penciptaan dan pemelihara alam semesta.
Kolose 1:15-17: Paulus menulis bahwa Kristus adalah "gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung atas segala yang diciptakan" dan bahwa "di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu... segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia". Ayat-ayat ini secara kuat menunjukkan peran aktif Kristus dalam penciptaan sebelum inkarnasi-Nya.
Pengosongan Diri (Kenosis)
Dalam suratnya kepada jemaat Filipi, Paulus menggunakan sebuah himne kuno gereja perdana untuk menjelaskan kerendahan hati Kristus, yang mengimplikasikan keberadaan ilahi-Nya sebelumnya.
Filipi 2:5-8: "Yang meskipun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia".
"Mengosongkan diri" (kenosis) ini berarti Kristus secara sukarela melepaskan hak-hak istimewa dan kemuliaan-Nya sebagai Allah untuk menjadi manusia dan merendahkan diri sampai mati di kayu salib. Tindakan pengosongan diri ini hanya bermakna jika memang ada rupa Allah yang ditinggalkan sebelumnya.
Identitas Ilahi
Paulus juga secara halus mengidentifikasi Yesus dengan Yahweh (Tuhan Allah Israel) dalam Perjanjian Lama.
1 Korintus 8:6: Paulus membedakan antara "satu Allah saja, yaitu Bapa" dan "satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus", tetapi juga menyatukan keduanya dalam kerangka monoteisme Yahudi yang ketat, di mana Yesus mengambil peran Tuhan dalam pengertian ilahi.
2 Korintus 8:9: "Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya..." Frasa "sekalipun Ia kaya" merujuk pada keberadaan-Nya yang kaya secara ilahi di surga sebelum menjadi miskin dalam inkarnasi manusia.
Secara keseluruhan, bagi Paulus, Kristus bukanlah sekadar manusia yang ditinggikan, melainkan wujud surgawi pra-eksisten yang ilahi yang mengambil kodrat manusia untuk tujuan penebusan.
Apakah Anda tertarik untuk mendalami perbedaan penekanan antara Injil Yohanes dan surat-surat Paulus mengenai pra-eksistensi Kristus?
Tentu saja, baik Injil Yohanes maupun surat-surat Paulus mengajarkan pra-eksistensi Kristus, namun mereka melakukannya dengan penekanan dan gaya teologis yang berbeda.
Injil Yohanes: Penekanan pada Identitas Ilahi yang Abadi (Logos)
Yohanes menggunakan pendekatan yang lebih filosofis dan langsung, berakar pada konsep Yahudi tentang "Firman" atau Logos. Fokus utamanya adalah hakikat ilahi Yesus yang kekal bersama Allah Bapa sebelum segala waktu.
Prolog yang Eksplisit: Yohanes 1:1-3 adalah pernyataan yang paling eksplisit: "Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia..."
Identitas Unik: Yohanes menekankan bahwa Yesus adalah Anak Tunggal Allah yang diutus dari surga, menggunakan klaim "Aku" yang kuat (seperti "Aku ada sebelum Abraham jadi" di Yohanes 8:58) yang menunjukkan kesetaraan dengan Allah.
Fokus pada Kesaksian: Tujuan Yohanes adalah agar pembaca percaya bahwa Yesus adalah Kristus, Anak Allah, yang sudah ada secara ilahi sebelum inkarnasi-Nya ke dalam daging (Yohanes 1:14).
Surat-surat Paulus: Penekanan pada Peran Fungsional dan Etis
Paulus, di sisi lain, cenderung menyinggung pra-eksistensi dalam konteks fungsional—peran Kristus dalam penciptaan dan penebusan—dan sebagai dasar bagi ajaran etis tentang kerendahan hati.
Agen Penciptaan: Seperti dibahas sebelumnya, Kolose 1:15-17 menyoroti peran Kristus sebagai perantara penciptaan, menunjukkan keberadaan-Nya sebelum dunia dimulai.
Contoh Etis (Kenosis): Filipi 2:5-8 menggunakan pra-eksistensi sebagai landasan untuk kerendahan hati orang Kristen. Kristus sudah ada dalam "rupa Allah" tetapi memilih untuk mengosongkan diri-Nya. Penekanannya adalah pada tindakan sukarela menjadi manusia dan menderita, bukan sekadar fakta keberadaan-Nya.
Penyingkapan Misteri: Paulus melihat inkarnasi sebagai misteri ilahi yang telah dirahasiakan selama berabad-abad, yang kini disingkapkan melalui Yesus Kristus.
Ringkasan Perbedaan Penekanan
Aspek Injil Yohanes Surat-surat Paulus
Konsep Kunci Logos (Firman) Hikmat/Agen Penciptaan/Teladan Etis
Gaya Filosofis & Teologis Langsung Fungsional & Etis/Praktis
Fokus Utama Identitas Ilahi yang Kekal Peran dalam Penebusan & Kerendahan Hati
Apakah Anda ingin memahami bagaimana pandangan Gereja perdana berkembang mengenai pra-eksistensi Kristus dalam Konsili-konsili awal, seperti Nicea?
Ya, Konsili Nicea Pertama pada tahun 325 M memainkan peran penting dalam mengkodifikasi dan menegaskan pandangan Gereja perdana mengenai pra-eksistensi dan keilahian penuh Kristus, sebagai tanggapan terhadap ajaran yang bertentangan.
Konflik Utama: Arianisme vs. Ortodoksi
Sebelum Konsili Nicea, terjadi kontroversi sengit, terutama dipicu oleh Arius, seorang presbiter dari Alexandria.
Ajaran Arius (Arianisme): Arius berpendapat bahwa Kristus (Logos) adalah makhluk ciptaan pertama dan terbesar oleh Bapa, yang diciptakan sebelum alam semesta ada, tetapi bukan Allah yang kekal dan sejati. Ia percaya ada waktu ketika Sang Putra belum ada ("There was a time when he was not").
Posisi Ortodoks (Alexander & Athanasius): Uskup Alexander dan diaken muda Athanasius berargumen bahwa Putra adalah kekal bersama Bapa dan memiliki hakikat ilahi yang sama, bukan makhluk ciptaan.
Hasil Konsili Nicea
Kaisar Konstantinus Agung memanggil para uskup dari seluruh kekaisaran untuk menyelesaikan perpecahan ini. Hasil utamanya adalah perumusan Kredo Nicea (Pengakuan Iman Nicea):
Pernyataan Kunci: Kredo tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah "Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah sejati dari Allah sejati, diperanakkan, bukan diciptakan, sehakekat dengan Bapa" (homoousios dalam bahasa Yunani, yang berarti "dari satu substansi" atau "sehakekat").
Penolakan Arianisme: Istilah homoousios sengaja digunakan untuk melawan pandangan Arius secara langsung. Konsili mengutuk Arianisme sebagai ajaran sesat (heresy), menegaskan bahwa Sang Putra ada bersama Bapa sejak kekal (pra-eksisten) dan setara dalam keilahian.
Dampak dan Perkembangan Lanjutan
Meskipun Nicea menghasilkan konsensus mayoritas, perdebatan tidak langsung berakhir dan berlanjut selama beberapa dekade. Namun, Konsili Konstantinopel Pertama pada tahun 381 M mengukuhkan kembali dan memperluas Kredo Nicea, yang menjadi dasar bagi doktrin Trinitas dan Kristologi (doktrin tentang pribadi Kristus) yang diterima secara universal dalam Kekristenan hingga saat ini: satu Allah dalam tiga Pribadi yang berbeda (Bapa, Putra, dan Roh Kudus), yang semuanya ilahi dan kekal.

